Yogyakarta – Keterbatasan akses jurnal ilmiah sering menjadi penghalang bagi peneliti dan akademisi untuk mendapatkan literasi yang berkualitas. Hal tersebut memunculkan diskursus mengenai keterbukaan ilmu pengetahuan, atau biasa disebut dengan Open Science yang semakin menghangat. Pandemi Covid-19 lalu menjadi salah satu bentuk praktik Open Science dimana berbagai penerbit membuka akses jurnal ilmiah dengan bebas seperti yang diungkapkan oleh Prof. dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., Ph.D pada acara Angkringan HELP Course 3rd Series: Open Science and Ethics yang dilaksanakan hari Kamis (24/08)
Meskipun Open Science dinilai menguntungkan para peneliti dan akademisi, namun terdapat sejumlah permasalahan yang dapat muncul. “Tidak mungkin movement seperti ini hanya satu mata pisau, pasti ada possible negative consequence” Ujar Prof. Gandes.
Prof. Gandes menjelaskan bahwa perlu ada kontrol untuk menjaga data dan pengetahuan yang dibuka. Hal itu karena terdapat kondisi tertentu di mana keterbukaan data atau pengetahuan dapat menimbulan ancaman bagi hak asasi manusia, keamanan, privasi pribadi, pengetahuan adat yang sakral dan rahasia, hingga mengancam spesies langka. Oleh karena itu Unesco menekankan bahwa keterbukaan ilmu pengetahuan juga harus didukung dengan infrastruktur, keterlibatan aktor-aktor sosial, dan dialog dengan sistem ilmu pengetahuan lainnya.
Unesco juga memberikan sejumlah nilai dan prinsip yang dapat memandu para penggerak Open Science agar gerakan ini dapat terlaksana dengan baik. Nilai-nilai tersebut antara lain: Quality and Integrity, Collective Benefit, Equity and Fairness, dan Diversity and Inclusiveness. Selain itu prinsi-prinsip tersebut antara lain transparency, scrutiny, critique and reproducibility, equality and opportunities, responsibility, respect and accountability, collaboration, participation and inclution, flexibility, dan sustainability.