Yogyakarta, 6 Agustus 2025 — Kualitas pelayanan kesehatan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas tenaga medisnya, terutama para dokter yang berada di garda depan sistem kesehatan. Namun, di balik pencapaian seorang dokter, terdapat proses seleksi yang menentukan siapa yang mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan kedokteran. Di tengah meningkatnya kebutuhan tenaga medis yang berintegritas dan memiliki empati tinggi, muncul pertanyaan mendasar: apakah sistem seleksi mahasiswa baru Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia sudah sesuai dengan kebutuhan zaman?
Isu strategis ini menjadi fokus dalam kegiatan rutin Raboan Discussion Forum pada Rabu, 6 Agustus 2025, yang mengangkat tema “Seleksi Mahasiswa Baru FK: Sudah Tepatkah?”. Acara ini menghadirkan pembicara dr. Hikmah Muktamiroh, MMedEd, SpKKLP, Subsp COPC, yang memaparkan secara komprehensif mengenai dinamika seleksi mahasiswa kedokteran di Indonesia, membandingkannya dengan praktik di negara maju, serta menawarkan berbagai langkah inovatif untuk perbaikan.
Dalam paparannya, dr. Hikmah menyoroti bahwa seleksi mahasiswa FK di Indonesia masih sangat bertumpu pada aspek kognitif, dengan kurangnya penilaian terhadap nilai-nilai etik dan empati. Hal ini berpotensi menghasilkan lulusan yang hanya unggul secara akademik, namun belum tentu memiliki kesiapan untuk menghadapi dinamika hubungan antar manusia dalam praktik klinis
Kesenjangan akses bagi siswa dari daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), komersialisasi pendidikan, serta belum adanya standar nasional seleksi non-akademik juga turut menjadi tantangan serius. Sebagai pembanding, dr. Hikmah mengulas praktik seleksi di negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada, yang sudah mengintegrasikan Multiple Mini Interview (MMI), tes kepribadian, hingga seleksi berbasis empati dan komunikasi.
Di akhir sesi, disampaikan beberapa usulan reformasi kebijakan seleksi FK, antara lain: penguatan asesmen soft skills, afirmasi bagi siswa dari daerah 3T, pelatihan bagi dosen pewawancara, serta pelibatan organisasi profesi dan pakar bioetika dalam penyusunan sistem seleksi yang lebih adil dan berorientasi masa depan.
Topik ini menjadi sangat relevan dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 3: Good Health and Well-being, serta SDG 4: Quality Education dan SDG 10: Reduced Inequalities. Reformasi seleksi pendidikan kedokteran yang inklusif, etis, dan berkeadilan menjadi fondasi penting dalam memastikan setiap warga negara, tanpa terkecuali, dapat mengakses layanan kesehatan yang berkualitas dari tenaga medis yang kompeten dan berintegritas.
Reporter : Rafi Khairuna Wibisono, S.Kom
Editor : Alvira Rahmasari, SHG