
Yogyakarta, 12 September 2025 – Perkembangan teknologi neurosains dalam beberapa tahun terakhir menghadirkan peluang sekaligus tantangan besar bagi dunia kesehatan dan pendidikan. Inovasi seperti neuroenhancement atau peningkatan fungsi otak manusia di luar kondisi normal, tidak hanya menjanjikan solusi medis baru, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendalam mengenai keadilan, keamanan, hingga etika penggunaannya.
Menjawab urgensi isu tersebut, Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran (CBMH) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) pada Rabu, 10 September 2025 kembali menggelar forum ilmiah rutin RABOAN. Acara yang telah menjadi agenda mingguan ini berfungsi sebagai wadah diskusi lintas disiplin untuk membahas isu-isu terkini dalam bioetika.
Tema yang diangkat kali ini adalah “Neuroenhancement and Brain Modification: Aspek Etis dalam Penggunaan Teknologi Peningkatan Kognisi.” Narasumber utama, Dr. dr. Taufiq Fredrik Pasiak, M.Kes., M.Pd.I., MH., CIPA, menghadirkan paparan komprehensif mengenai perkembangan teknologi neurosains dan implikasi etis yang menyertainya. Diskusi dipandu oleh Mahmasoni Masdar, S.Kep., Ns., M.Kep.
Dalam sesi ini, dr. Taufiq menjelaskan definisi neuroenhancement, yakni penggunaan teknologi untuk meningkatkan fungsi kognitif otak manusia di luar kondisi normal. Contoh yang berkembang saat ini meliputi stimulasi otak non-invasif, obat-obatan peningkat konsentrasi, hingga kemungkinan modifikasi otak melalui teknologi canggih.
Menurutnya, perkembangan teknologi ini membawa peluang besar dalam bidang pendidikan, kesehatan, hingga produktivitas kerja. Sebagai contoh, teknologi peningkat kognisi berpotensi membantu pasien dengan gangguan neurodegeneratif seperti Alzheimer, atau mendukung individu dengan kesulitan belajar agar dapat beradaptasi lebih baik.
Namun, beliau juga menegaskan bahwa inovasi tersebut tidak lepas dari persoalan serius, seperti:
-
Keadilan dan aksesibilitas – apakah teknologi ini hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu yang mampu secara finansial daripada kelompok lain tertinggal.
-
Keamanan jangka panjang – minimnya penelitian tentang dampak jangka panjang teknologi modifikasi otak menimbulkan kekhawatiran akan risiko kesehatan baru.
-
Privasi dan kebebasan individu – teknologi yang dapat memengaruhi fungsi otak menimbulkan pertanyaan mendalam tentang batas perlindungan hak asasi manusia.
-
Kebutuhan regulasi – perlunya kerangka kebijakan yang melibatkan multidisiplin ilmu, dari kedokteran hingga hukum, agar penggunaan teknologi dapat dikendalikan secara etis.
Selain itu, Taufiq juga menyoroti konsep neurorights, hak-hak dasar yang harus dilindungi. Konsep ini mencakup hak atas identitas personal, kebebasan berpikir, privasi mental, hingga perlindungan dari diskriminasi berbasis kapasitas kognitif.
Isu ini juga relevan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3 (Good Health and Well-Being). Teknologi peningkatan kognisi berpotensi mendukung kesehatan otak dan kualitas hidup manusia, terutama dalam pencegahan dan penanganan gangguan neurologis maupun mental. Neuroenhancement juga dapat membantu proses rehabilitasi pasien dengan gangguan fungsi otak, sehingga mereka bisa kembali beraktivitas secara produktif. Namun, tanpa regulasi yang tepat, teknologi ini justru berisiko menimbulkan masalah kesehatan baru, termasuk ketergantungan, penyalahgunaan, atau dampak jangka panjang yang belum diketahui.
Dengan mengangkat tema tentang neuroenhancement, CBMH UGM menunjukkan kepeduliannya terhadap isu-isu etika di tengah derasnya arus inovasi. Harapannya, diskusi ini dapat menjadi pijakan awal bagi lahirnya penelitian, kebijakan, dan kerangka regulasi yang mampu menyeimbangkan antara manfaat teknologi dengan perlindungan nilai-nilai kemanusiaan.
Reporter : Ardhini N, MKM
Editor : Rafi Khairuna Wibisono, S.Kom





