• UGM
  • IT Center
Universitas Gadjah Mada Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH)
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang Kami
    • Visi & Misi
    • Sejarah
    • Staf dan Afiliasi
      • Pimpinan
      • SDM
      • Kolaborator Nasional
      • Kolaborator Internasional
  • Berita & Acara
    • Acara Mendatang
  • Briefings & Publikasi
    • Journal Article
    • Book Chapter
    • Teaching Module
    • Project Report
    • Others
  • Riset & Projek
  • Pendidikan & Kursus
    • Magister Bioetika
    • Kursus
  • Bioethics Teacher
  • Kegiatan
    • Program Rutin
    • Konsultasi Klinis
  • IBHC 2024
  • UNESCO Chair on Bioethics
  • Karir
  • Beranda
  • Raboan
  • page. 2
Arsip:

Raboan

“Tayang Dulu, Dipecat Kemudian?” Belajar dari Kasus Medsos Nakes: Etika, Reputasi, dan Marketing Rumah Sakit

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Monday, 16 June 2025

Yogyakarta, 11 Juni 2025 – Diskusi mingguan Raboan Research and Perspective Sharing kembali hadir dengan topik yang aktual dan relevan di era digital: “Tayang Dulu, Dipecat Kemudian? Belajar dari Kasus Medsos Nakes: Etika, Reputasi, dan Marketing Rumah Sakit”. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom dan menghadirkan narasumber utama, Dr. dr. Jodi Visnu, MPH, seorang Health-Marketing Strategist di rumah sakit. Diskusi ini diikuti oleh peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari tenaga kesehatan, akademisi, promosi kesehatan rumah sakit, hingga konten kreator media sosial. Antusiasme tinggi terlihat dari banyaknya pertanyaan dan diskusi aktif yang terjadi sepanjang acara, menandakan isu ini menjadi perhatian serius bagi dunia kesehatan maupun publik digital.

Dalam paparannya, dr. Jodi menyoroti bagaimana tenaga medis kini tidak hanya berperan sebagai penyedia layanan kesehatan, namun juga sebagai influencer institusional yang kontennya di media sosial bisa berdampak langsung pada citra dan reputasi rumah sakit. Fenomena konten viral dari nakes yang kemudian menimbulkan krisis etik hingga pemecatan mencerminkan belum matangnya tata kelola komunikasi digital dalam institusi kesehatan.

Beliau menjelaskan bahwa meskipun rumah sakit didorong untuk lebih terbuka dan aktif mengedukasi masyarakat, penting untuk membedakan mana yang bertujuan memberikan informasi yang bermanfaat dan mana yang hanya ingin viral demi promosi. Etika bukan untuk membatasi kreativitas, tapi justru menjadi panduan agar komunikasi yang dilakukan tetap bertanggung jawab, menghormati semua pihak, dan tidak merugikan, khususnya pasien. Beliau juga mendorong agar kode etik profesi ditanamkan sejak dini dalam pendidikan kesehatan, serta dipertegas melalui kebijakan internal rumah sakit yang adaptif terhadap era digital.

Pemaparan contoh kasus tenaga kesehatan dan medis dalam dunia digital

Kegiatan ini sejalan dengan semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), khususnya SDG 3 (kehidupan sehat dan sejahtera) dan SDG 4 (pendidikan berkualitas). Dalam konteks SDG 3 (kehidupan sehat dan sejahtera), topik ini menekankan pentingnya komunikasi yang etis dan empatik dalam layanan kesehatan sebagai bagian dari upaya menjaga kepercayaan publik, melindungi hak pasien, dan menciptakan sistem pelayanan yang holistik serta bermartabat. Sementara itu, SDG 4 (pendidikan berkualitas) tercermin dari perlunya literasi digital dan penanaman kode etik sejak pendidikan profesi kesehatan.

Raboan kali ini menjadi ruang reflektif yang penting bagi para peserta untuk meninjau ulang secara kritis bagaimana media sosial berperan dalam membentuk persepsi publik serta bagaimana konten yang diunggah oleh tenaga kesehatan dapat memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi layanan kesehatan. Melalui diskusi ini, peserta diajak untuk memahami bahwa media sosial bukan hanya sekadar sarana berbagi informasi, tetapi juga alat yang memiliki dampak besar terhadap citra, reputasi, dan legitimasi etis dari rumah sakit maupun profesi kesehatan itu sendiri.

 

Reporter          : Alvira Rahmasari, S.H.G.

Editor              : Rafi Khairuna Wibisono, S.Kom.

 

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=LReyJKcOpFI[/embedyt]

Siapa Sebenarnya yang Punya Keputusan atas Tubuh Kita? Raboan Bahas “Otonomi Keluarga” dalam Keputusan Medis Saat Pandemi

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Tuesday, 10 June 2025

Yogyakarta, 4 Juni 2025 – Diskusi mingguan Raboan Research and Perspective Sharing kembali digelar pada Rabu (4/6) dengan topik yang dekat dengan realita masyarakat saat pandemi. Kali ini, Nathan Agwin Khenda, Ftr., M. Bio.Et., hadir sebagai narasumber membawakan topik “Persepsi Tenaga Kesehatan Mengenai Otonomi Kekerabatan dalam Pengambilan Keputusan Tindakan Medis oleh Pasien Saat Pandemi COVID-19.”


Dalam pemaparannya, Khenda menjelaskan bahwa selama pandemi, banyak pasien tidak bisa mengambil keputusan sendiri soal tindakan medis, baik karena sakit berat, kurang informasi, atau situasi darurat. Akhirnya, keputusan sering diambil oleh keluarga, tokoh masyarakat, atau bahkan langsung oleh tenaga medis.

Menurut Khenda, ini tidak lepas dari budaya komunal yang kuat di Indonesia, di mana keputusan penting biasanya dibahas bersama keluarga. Hal ini dikenal sebagai “otonomi kekerabatan”, yaitu keputusan medis yang tidak hanya diambil oleh pasien, tetapi juga melibatkan orang-orang terdekat.

Ia juga menyoroti pengalaman tenaga kesehatan di dua rumah sakit dengan tipe pasien yang berbeda. Hasilnya, banyak faktor yang memengaruhi proses pengambilan keputusan, seperti nilai-nilai budaya, kedekatan keluarga, hingga situasi darurat. Dalam kondisi normal, edukasi pasien dan keluarga menjadi langkah penting sebelum tindakan medis dilakukan. Tapi saat kondisi gawat, dokter harus segera bertindak demi menyelamatkan nyawa.


“Dalam kondisi krisis, prinsip utama yang dipegang tenaga kesehatan adalah beneficence atau mengutamakan kebaikan pasien, serta minus mallum yaitu memilih tindakan yang paling minim risikonya,” ujar Khenda.

Diskusi ini juga punya kaitan dengan upaya mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 3 (Kesehatan yang Baik) dan poin 16 (Keadilan dan Institusi yang Tangguh). Artinya, sistem kesehatan ideal itu bukan cuma soal fasilitas, tapi juga soal menghormati nilai budaya dan hak setiap orang, baik sebagai individu maupun bagian dari keluarga.

Raboan kali ini mengajak kita merenungkan ulang: dalam situasi genting, siapa sebenarnya yang punya keputusan atas tubuh kita? Dan bagaimana budaya, keluarga, dan etika saling memengaruhi jawabannya?

Reporter : Ardhini Nugrahaeni, M.K.M.
Editor : Alvira Rahmasari, S.H.G.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=2PoxzM5xMQg[/embedyt]

Mewujudkan Haji yang Aman dan Sehat: Kolaborasi untuk Pelayanan Lebih Baik

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Thursday, 15 May 2025

Yogyakarta, 14 Mei 2025 – Raboan Research and Perspective Sharing kembali hadir pada Rabu, 14 Mei 2025, dengan topik yang sangat menarik, yaitu “Kesehatan dan Keselamatan Ibadah Haji, Strategi dan Implementasi”. Acara ini menghadirkan narasumber drg. Lutfiah Sahabuddin, M.K.M., dari Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat Palu.

Pemaparan materi oleh drg. Lutfiah sebagai pembicara

Sesi diskusi interaktif dengan peserta Raboan

Pada pemaparannya, drg. Lutfiah menekankan pentingnya strategi kesehatan dan keselamatan bagi jemaah haji. Berdasarkan data yang dipresentasikan, penyakit seperti syok sepsis, syok kardiogenik, dan infark miokard akut menjadi penyebab utama kematian jemaah haji dalam beberapa tahun terakhir.

“Penyelenggaraan kesehatan haji harus mengutamakan upaya promotif dan preventif. Edukasi kepada jemaah sejak masa persiapan hingga pelaksanaan haji adalah kunci untuk menekan angka kematian,” ujar drg. Lutfiah. Beliau juga menyampaikan pentingnya mengajarkan kesehatan haji kepada mahasiswa, seperti yang sudah diterapkan di FK Universitas Alkhairaat Palu melalui blok umroh dan haji dalam pendidikan mahasiswa kedokteran.

Selain itu, drg. Lutfiah juga mengungkapkan tantangan dilema etis yang sering dialami oleh tenaga kesehatan haji. Salah satunya adalah kasus jemaah haji lansia yang secara kesehatan tidak memenuhi syarat (istitha’ah) untuk berangkat haji, tetapi keluarga menolak keputusan tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peran serta dari tokoh masyarakat, tim kesehatan dan Kementerian Agama. Berbagai pihak tersebut perlu berkoordinasi dan berdiskusi untuk mencapai keputusan terbaik, sehingga keluarga dapat memahami dan menerima keputusan yang diambil.

Diskusi ini sejalan dengan komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama pada aspek kesehatan yang baik dan kesejahteraan (SDG 3). Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya memperkuat literasi kesehatan masyarakat dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan haji di Indonesia. 

Melalui diskusi ini, Raboan Research and Perspective Sharing menjadi wadah penting untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait kesehatan jemaah haji. Harapannya, acara ini dapat mendorong peningkatan layanan kesehatan haji yang lebih baik, sekaligus memperkuat kerja sama berbagai pihak dalam menghadapi tantangan di lapangan. Dengan begitu, jemaah haji Indonesia dapat menunaikan ibadah dengan lebih aman, sehat, dan bermartabat.

Reporter : Ika Setyasari, S.Kep.Ns., M.N.Sc 

Editor : Alvira Rahmasari, S.H.G.

 

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=j-hP3fm2TJk[/embedyt]

Childfree dibenarkan dalam Pandangan Etis? Diskusi Raboan CBMH FK-KMK UGM Angkat Topik Childfree dan Pilihan Reproduksi

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Thursday, 8 May 2025

Pemaparan materi oleh pembicara

Center for Bioethics and Medical Humanities FK-KMK UGM kembali mengadakan Raboan Discussion Forum secara daring melalui Zoom Meeting. Dalam forum yang berlangsung pada Rabu, 7 Mei 2025 ini, topik yang diangkat adalah “Childfree Movement: Philosophical Justification and Proposed Resolution”. Acara ini menghadirkan Albert Adiputra, S.Si., M.Sc., alumnus Program Magister Bioetika UGM, sebagai narasumber utama. Diskusi dipandu oleh Mahmasoni Masdar, S.Kep., Ns., M.Kep., yang juga aktif dalam bidang keperawatan dan bioetika.

Topik ini dibahas karena semakin banyak orang yang mulai mempertimbangkan pilihan untuk tidak memiliki anak, atau yang dikenal dengan istilah childfree. Dalam diskusi, Albert menjelaskan bahwa keputusan tersebut bisa dipengaruhi banyak hal, seperti pertimbangan kondisi pribadi, ekonomi, lingkungan, hingga nilai-nilai hidup yang dianut seseorang. Diskusi juga membahas pandangan filosofis bernama antinatalisme, yang melihat bahwa membawa anak ke dunia perlu dipikirkan secara matang, karena kehidupan membawa kemungkinan adanya penderitaan.

Sesi diskusi dengan peserta

Hal lain yang disoroti adalah bagaimana norma sosial dan budaya di masyarakat, termasuk di Indonesia, masih sangat kuat dalam mendorong orang untuk memiliki anak. Tekanan dari lingkungan dan keluarga seringkali membuat keputusan seperti childfree menjadi sulit diterima. Di sinilah pentingnya ruang dialog seperti forum ini untuk membuka pemahaman yang lebih luas.

Dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), topik ini relevan dengan SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Kesejahteraan) dan SDG 5 (Kesetaraan Gender). Pilihan hidup seperti childfree dapat dikaitkan dengan hak kesehatan reproduksi, kesetaraan dalam pengambilan keputusan, serta kesadaran akan dampak ekologis dari pertumbuhan populasi.

Forum ini tidak bermaksud memberikan penilaian atas benar atau tidaknya suatu pilihan, melainkan mengajak peserta memahami kompleksitas di balik keputusan tersebut. Dengan menghadirkan berbagai sudut pandang, diharapkan diskusi ini dapat memperkuat budaya saling menghormati atas keberagaman nilai dan pilihan hidup di tengah masyarakat yang terus berkembang. Selain itu, diharapkan masyarakat semakin terbuka terhadap berbagai pandangan dan bisa berdiskusi secara sehat mengenai isu-isu etika yang makin relevan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Reporter             : Alvira Rahmasari, S.H.G.

Editor                  : Rafi Khairuna Wibisono, S.Kom.

 

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=4irpAQjul_o[/embedyt]

BIOETIKA HUMANIORA MEDICAL ETHICS

Kata ‘Maaf’ Bisa Bikin Kacau? Tantangan Utama Komunikasi dalam Interprofessional Collaboration di Dunia Kesehatan

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Thursday, 24 April 2025

Rabu, 23 April 2025 — Telah berlangsung Raboan Research and Perspective Sharing dengan topik “Tantangan Komunikasi Interprofessional Collaboration (IPC) dalam Dunia Kesehatan.” Kegiatan ini menghadirkan narasumber alumni Magister Bioetika UGM, dr. Nasrun, S.H., M.Sc, yang kini aktif sebagai dosen di Departemen Bioetika FK Unisa Palu, dan dimoderatori oleh Ika Setyasari, S.Kep.Ns., M.N.Sc dari CBMH UGM. Acara ini diikuti lebih dari 50 peserta dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa, klinisi, dan akademisi.

BIOETIKA HUMANIORA MEDICAL ETHICSDalam pemaparannya, dr. Nasrun menekankan bahwa tantangan utama dalam pelaksanaan IPC adalah komunikasi lintas profesi. IPC sangat penting untuk mendukung pergeseran dari model pelayanan kesehatan yang paternalistik menjadi partnership. IPC bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan dan mengoptimalkan patient centered care, sehingga pasien menjadi fokus utama dalam pengambilan keputusan klinis.
Empat tantangan utama komunikasi dalam IPC adalah perbedaan makna, ego antar profesi, persepsi yang tidak selaras, dan batasan teritorial (ranah kerja) masing-masing tenaga kesehatan. Kesalahpahaman kerap muncul, seperti penggunaan kata “maaf” yang dapat ditafsirkan sebagai pengakuan kesalahan atau justru sebaliknya, yakni ketidakmampuan. Pada situasi gawat darurat, tantangan ini semakin kompleks, sehingga dibutuhkan strategi seperti penyamaan persepsi dan komunikasi terbuka antar profesi.

BIOETIKA HUMANIORA MEDICAL ETHICS
Topik ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 3: Kehidupan Sehat dan Kesejahteraan, yang menekankan pentingnya sistem kesehatan yang kuat dan responsif. Topik ini juga berkaitan dengan SDGs nomor 4: Pendidikan Berkualitas, karena penerapan IPC yang efektif memerlukan pendidikan interprofesional (IPE) yang mendukung pengembangan kompetensi kolaboratif sejak dini bagi tenaga kesehatan. IPE yang kuat akan membentuk tenaga kesehatan yang mampu berkomunikasi dan bekerja sama lintas profesi secara efektif.

Diskusi selengkapnya dapat disimak kembali di YouTube Channel CBMH UGM https://www.youtube.com/live/Wdge9LeTNYs?si=3tv_6C3IDSUlhDqW

Reporter: Ika Setyasari, S.Kep.Ns., M.N.Sc

Editor: Rafi Khairuna Wibisono, S.Kom

 

Perlukah Imunisasi pada Bayi?

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Tuesday, 22 April 2025

Yogyakarta, 16 April 2025 – Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan diskusi mingguan bertajuk Raboan Sharing & Perspective Sharing, yang kali ini mengangkat tema “Etika Imunisasi”. Kegiatan yang dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom ini menghadirkan Dr. dr. Fx. Wikan Indrarto, Sp.A, dokter spesialis anak sekaligus dosen, sebagai narasumber utama, dengan Ns. Wahyu Dewi Sulistyarini, MSN, bertindak sebagai moderator.

Dalam paparannya, Dr. Wikan menegaskan bahwa imunisasi merupakan salah satu upaya paling penting dalam membentuk kekebalan tubuh terhadap penyakit. Meski demikian, pelaksanaannya juga memunculkan sejumlah tantangan dari sudut pandang etika biomedis, seperti prinsip non-maleficence (tidak membahayakan), justice (keadilan), autonomy (kebebasan), dan beneficence (kebaikan).

“Sebagai tenaga medis, kita tidak hanya bertugas memberikan manfaat secara medis, namun juga memastikan bahwa tindakan yang kita lakukan bersifat adil dan menghormati hak pasien,” ujar Dr. Wikan.

Lebih lanjut, beliau mengangkat isu medical paternalism, yaitu keputusan dokter yang membatasi otonomi pasien atas dasar kebaikan pasien itu sendiri atau masyarakat. Dr. Wikan menjelaskan bahwa pendekatan paternalistik bisa dibenarkan secara etika dalam kondisi tertentu, seperti ketika terdapat risiko serius yang dapat dicegah, pasien tidak mampu mengambil keputusan secara otonom, dan tindakan tersebut memberikan manfaat yang signifikan bagi pasien. Diskusi ini juga menyinggung regulasi nasional terkait imunisasi, di antaranya Peraturan Menteri Kesehatan No. 12 Tahun 2017 dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 4 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa imunisasi hukumnya mubah atau diperbolehkan dalam Islam.

Dr. Wikan menutup diskusi dengan menekankan pentingnya keterbukaan informasi dalam pelaksanaan imunisasi. Ia mengingatkan bahwa keberhasilan program imunisasi nasional membutuhkan keterlibatan aktif dokter dalam memberikan edukasi menyeluruh, serta penghormatan terhadap hak orang tua untuk membuat keputusan secara sadar dan bebas.

“Kita perlu menyukseskan program imunisasi nasional, tetapi tetap perlu mengkritisi pelaksanaannya dari sisi etika. Sudahkah kita bijak?” tandasnya.

Kegiatan ini menjadi refleksi bahwa kesehatan bukan semata-mata persoalan medis, melainkan juga menyangkut nilai, hak, dan pilihan moral dalam masyarakat yang majemuk. Isu Etika Imunisasi memiliki keterkaitan erat dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDGs 3 tentang Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik, serta SDGs 4 tentang Pendidikan Berkualitas. Melalui pendidikan etika kedokteran yang baik, tenaga kesehatan diharapkan dapat mengambil keputusan klinis dengan lebih bijak dan berkeadilan, termasuk dalam praktik imunisasi.

 

Reporter             : Ardhini Nugraheni, M.K.M.

Editor                  : Alvira Rahmasari, S.H.G.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=gNEaz0gN_oA[/embedyt]

Komunikasi Kesehatan dan Tantangan Etika: Membangun Dialog yang Bertanggung Jawab

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Friday, 21 March 2025

Yogyakarta, 19 Maret 2025 — Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) Universitas Gadjah Mada kembali menggelar agenda rutin Raboan Sharing & Perspective Sharing, sebuah diskusi mingguan yang membahas berbagai isu bioetika. Kegiatan yang diselenggarakan daring melalui Zoom Meeting ini menghadirkan dr. Steffi Rifasa., M.H., seorang dosen sekaligus kepala divisi bioetik dan Hukum fakultas kedokteran, Universitas Islam Pasundan, sebagai pembicara utama, dengan Nathan Agwin Khenda., Ftr, M.Bio.Et., sebagai moderator.

BIOETIKA HUMANIORA

Pada kesempatan kali ini, Raboan mengangkat tema “Komunikasi Kesehatan dan Tantangan Etika : Membangun Dialog yang Bertanggungjawab”. Diskusi ini menyoroti peran penting bioetika dalam komunikasi kesehatan, serta mengupas berbagai solusi dalam menangani kasus-kasus dilema etika medis yang membutuhkan komunikasi efektif antara tenaga kesehatan dan pasien. Diskusi ini dibuka dengan menampilkan kasus-kasus dugaan malpraktik oleh tenaga medis dengan memperlihatkan bagaimana sudut pandang pasien dan fasilitas kesehatan bisa berbeda. Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa komunikasi yang jelas dan transparan yang menjadi kunci utama dalam menghindari kesalahpahaman antara tenaga medis dan pasien yang dapat berdampak pada pengambilan keputusan medis.

BIOETIKA HUMANIORA

Dipandu oleh moderator Nathan Agwin Khenda, Ftr, M.Bio.Et., diskusi berlangsung interaktif dengan melibatkan peserta dari berbagai latar belakang, termasuk tenaga medis, akademisi, dan mahasiswa. Berbagai pandangan mengenai bioetika dan krisis komunikasi ini dibahas secara mendalam, terutama pada penerapan prinsip bioetika, serta peran tenaga medis dalam membangun kepercayaan dengan pasien melalui komunikasi yang efektif dan bertanggungjawab.

Steffi Rifasa., M.H juga menyoroti tantangan komunikasi kesehatan yaitu dalam menyampaikan berita buruk dengan cara yang tidak menghancurkan harapan pasien. Penggunaan metode yang tepat seperti pendekatan SPIKES (Setting, Perception, Invitation, Knowledge, Emphaty, and Strategy) dapat membantu dalam menyampaikan berita buruk secara etis dan bertanggung jawab. Selain itu, tantangan lain yang dihadapi saat ini yaitu komunikasi kesehatan pada era digital yang mana penggunaan telemedicine meningkat serta media sosial seringkali menjadi sumber informasi  yang belum tentu akurat, sehingga tenaga kesehatan perlu lebih proaktif dalam memberikan eduksi kesehatan.

Komunikasi kesehatan dan tantangan etika ini dapat dikaitkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) terutama SDG 3: Good Health and Well-Being yang menekankan pada pentingnya komunikasi kesehatan yang efektif berkontribusi pada pelayanan kesehatan dan memastikan bahwa pasien menerima perawatan yang tepat, serta SDG 4: Quality Education yang mana tenaga kesehatan juga perlu mendapatkan pelatihan dalam komunikasi etis dan empati sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan pasien lebih baik.

 

Diskusi Raboan kali ini menegaskan komunikasi yang baik dalam bidang kesehatan tidak hanya membantu pasien dalam memahami kondisi mereka tetapi juga membangun hubungan yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien. Pendekatan etis diperlukan dalam komunkasi kesehatan agar tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga memberikan pemahaman yang mendalam kepada pasien dan keluarganya.

Reporter : Nadia Ulfah, Mafrida Nabilah Hanan

Editor : Alvira Rahmasari, S.H.G.

12 Maret 2025 - RABOAN BIOETIKA HUMANIORA

Membedah Fenomena Bedah Estetika: Perspektif Medis, Etika, dan Agama

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Thursday, 13 March 2025

raboan BIOETIKA 12 maret 2025 2

Yogyakarta, 12 Maret 2025 – Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) bersama Program Studi Magister Bioetika Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan webinar RABOAN yang menghadirkan Dr. dr. Prima Maharani Putri, M.H., C.Med. sebagai pembicara utama.

Dalam pemaparannya, dr. Prima membahas tren terkini dalam dunia bedah estetika yang semakin diminati oleh masyarakat modern. “Saat ini, penampilan yang sempurna menjadi prioritas dalam dunia kerja dan interaksi sosial. Banyak orang memilih operasi plastik untuk mencapai standar kecantikan yang mereka impikan,” ungkapnya.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, promosi bedah estetika di media sosial semakin masif, menampilkan hasil transformasi fisik yang menakjubkan dan membentuk persepsi masyarakat terhadap kecantikan. Namun, di balik popularitasnya, terdapat berbagai aspek bioetika serta sudut pandang keagamaan yang perlu dipertimbangkan.

Webinar ini juga menyoroti bagaimana berbagai agama memandang bedah estetika. Dalam Islam, prosedur ini diperbolehkan jika bersifat rehabilitatif dan memberikan manfaat medis, namun menjadi terlarang apabila hanya bertujuan untuk mempercantik diri. Buddhisme menganggap bedah plastik sebagai sesuatu yang positif jika dilakukan untuk kepentingan kesehatan, tetapi kurang dianjurkan jika hanya demi estetika. Sementara itu, dalam ajaran Kristen Protestan dan Katolik, operasi plastik diperbolehkan untuk kebutuhan medis, seperti rekonstruksi akibat cacat lahir atau cedera. Adapun dalam agama Hindu, perubahan bentuk tubuh melalui bedah plastik tidak dianjurkan.

Dr. Prima menegaskan pentingnya penerapan prinsip bioetika dalam praktik bedah estetika. “Pasien memiliki hak untuk memutuskan menjalani operasi plastik selama tidak bertujuan menipu atau merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dokter pun wajib memberikan informed consent serta mempertimbangkan aspek etis, terutama bagi pasien yang tidak memiliki indikasi medis,” jelasnya.

Diskusi dalam webinar ini juga berkaitan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-3 tentang Good Health and Well-being serta tujuan ke-10 tentang Reduced Inequalities. Dengan meninjau bedah estetika dari sudut pandang bioetika, agama, dan kesehatan mental, kegiatan ini berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak sosial dari standar kecantikan yang dikonstruksi media sosial. Selain itu, webinar ini menjadi wadah edukasi bagi tenaga medis dan masyarakat untuk memahami pentingnya layanan kesehatan yang berlandaskan etika serta memastikan bahwa setiap tindakan medis, termasuk operasi plastik, memberikan manfaat nyata bagi kualitas hidup pasien dengan indikasi medis yang tepat.

Acara ini ditutup dengan pesan utama bahwa tenaga medis berperan besar dalam memberikan edukasi serta menegakkan standar etika dalam praktik bedah estetika. “Menjunjung tinggi etika dan moral dapat mendorong masyarakat untuk menerima diri mereka apa adanya. Operasi plastik bukan satu-satunya tolok ukur dalam mencapai kesempurnaan fisik,” pungkas Dr. Prima.

 

Reporter : Ardhini Nugrahaeni, M.K.M.
Editor : Rafi Khairuna Wibisono, S.Kom

Integrasi Humaniora untuk Membentuk Dokter yang Berempati dan Berintegritas

Artikel TerbaruRaboan Thursday, 6 March 2025

Yogyakarta, 5 Maret 2025 – Raboan Research and Perspective Sharing kembali hadir di awal bulan Maret 2025 dengan narasumber terkemuka Prof. Dr. dr. Taufiq Suryadi, Sp.F (K), Dipl.BE, seorang Guru Besar Ilmu Kedokteran Forensik dan Studi Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala. Pemaparan materi dan diskusi berlangsung interaktif dengan dimoderatori oleh Mahmasoni Masdar, S.Kep.Ns., M.Kep dari CBMH UGM. 

Raboan kali ini menyoroti pentingnya pendekatan multidisipliner dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang lebih manusiawi dan beretika, serta pentingnya mengintegrasikan humaniora dan budaya ke pendidikan kedokteran. Prof. Taufiq menekankan terkait tiga topik dalam pembelajaran humaniora, yakni:

”Belajar ilmu humaniora, mengajar secara humaniora dan belajar dengan humaniora”

Humaniora bukan hanya pelengkap, namun elemen kunci dalam membentuk dokter yang berempati dan berintegritas. Sebagai dokter dan tenaga kesehatan, sangat penting untuk melihat pasien bukan hanya dari sisi penyakitnya, namun juga kondisi mental, budaya, spiritual dan sosialnya.

Dalam pemaparannya, Prof. Taufiq memberikan insight berupa model pembelajaran yang paling disukai dan dibutuhkan mahasiswa dalam pembelajaran humaniora, serta gaya belajar yang disukai mahasiswa dalam memperoleh informasi. 

Diskusi dalam sesi Raboan kali ini selaras dengan SDG 3 (Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan) dan SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), dengan menekankan pentingnya pendekatan humaniora dalam pendidikan dan praktik kedokteran. Prof. Taufiq menyoroti bagaimana pemahaman aspek mental, budaya, spiritual, dan sosial pasien dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang lebih manusiawi dan beretika. Selain itu, integrasi humaniora dalam kurikulum kedokteran juga berperan penting dalam membentuk tenaga medis yang berempati, memahami etika, serta memiliki kesadaran akan aspek hukum dalam praktik medis, sehingga mendukung pendidikan kedokteran yang lebih holistik dan berkualitas.

Penguatan pendidikan humaniora dalam kurikulum kedokteran diharapkan dapat melahirkan para tenaga medis yang mampu memahami aspek kemanusiaan, etika, dan hukum dalam praktik medis.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=rnkJhzM3q3M[/embedyt]

Reporter : Ika Setyasari, S.Kep.Ns., M.N.Sc

Editor : Rafi Khairuna Wibisono, S.Kom

Menjawab Tantangan Etika dalam Pelayanan Kesehatan

Artikel TerbaruBerita SDGsRaboan Friday, 28 February 2025

Yogyakarta, 26 Februari 2025 – Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan webinar rutin Raboan Sharing & Perspective Sharing. Webinar ini diadakan secara daring melalui Zoom Meeting dan menghadirkan dr. Bondan Agus Suryanto, S.E., M.A. (Dosen Fakultas Kedokteran UII dan FKKMK UGM) sebagai pembicara utama, dengan Mahmasoni Masdar, S.Kep., Ns., M.Kep sebagai moderator.

Pemaparan materi Raboan oleh dr. Bondan Agus Suryanto, S.E., M.A.

Diskusi kali ini mengangkat tema “Masalah Etika dalam Pelayanan Kesehatan”, yang menyoroti tantangan dan solusi dalam mewujudkan keadilan dalam distribusi layanan kesehatan. Dalam pemaparannya, dr. Bondan menekankan pentingnya pendekatan bioetika yang berbasis keadilan sosial untuk memastikan akses layanan kesehatan yang merata di tengah keterbatasan sumber daya. Selain itu, beliau juga membahas peran organisasi profesi dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan tenaga medis dan kebutuhan masyarakat luas.

Mahmasoni Masdar selaku moderator memandu diskusi interaktif yang melibatkan peserta dari berbagai latar belakang, termasuk tenaga medis, akademisi, dan mahasiswa. Berbagai perspektif mengenai etika pelayanan kesehatan di Indonesia dibahas secara mendalam, termasuk peran kebijakan publik, pengaruh budaya dan agama, serta tantangan dalam implementasi sistem kesehatan berbasis asuransi sosial seperti BPJS.

Sesi diskusi dengan partisipan Raboan

Pembahasan mengenai masalah etika dalam pelayanan kesehatan ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya SDG 3 tentang Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan serta SDG 10 tentang Mengurangi Kesenjangan. Adanya webinar ini berupaya mendorong dialog lintas sektor yang dapat membantu merancang kebijakan kesehatan yang lebih adil dan merata, sehingga setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi, dapat mengakses layanan kesehatan yang berkualitas.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=YTuSF_2BLAg[/embedyt]

CBMH UGM berharap forum ini dapat menjadi tempat bagi berbagai pihak untuk berdiskusi dan berbagi wawasan tentang bioetika di Indonesia. Dengan adanya kolaborasi antar sektor, diharapkan dapat lahir kebijakan kesehatan yang lebih adil dan mudah diakses oleh semua orang.

Reporter          : Alvira Rahmasari, S.H.G.

Editor              : Rafi Khairuna Wibisono, S.Kom.

1234…13

Berita lainnya

  • ethics and decision making Perkuat Kapasitas Etika Tenaga Kesehatan Melalui Workshop Pengambilan Keputusan Etis
    October 22, 2025
  • cek kesehatan gratis - cbmh ugm CBMH UGM Gelar Cek Kesehatan Gratis bagi Penyandang Disabilitas di Kelurahan Gading
    October 22, 2025
  • kuliah isu etika pelayanan kesehatan anak Bahas Isu Etika dalam Pelayanan Kesehatan Anak dan Remaja Bersama Prof. Dick Willems dari UMC Amsterdam
    October 22, 2025
  • healing garden therapy, kesehatan lansia, ageisme Lawan Ageism dengan Healing Garden Therapy
    October 22, 2025
  • komunikasi failure Membangun Keselamatan Pasien Melalui Komunikasi Efektif dalam Layanan Kesehatan
    October 22, 2025
  • BIOETIKA HUMANIORA MEDICAL ETHICS AI untuk Memperkuat, Bukan Menggantikan: CBMH UGM Tekankan Etika Penggunaan Kecerdasan Buatan Untuk Tujuan Klinis
    October 9, 2025
  • BIOETIKA HUMANIORA MEDICAL ETHICS Dilema Etis di Balik Teknologi Neuroenhancement dan Modifikasi Otak
    September 22, 2025
  • HELP COURSE BATCH 7 SERI 3 - BIOETIKA - ETIKA PENELITIAN HELP Course Batch 7 – 3rd Series Kupas Etika Penelitian Kesehatan
    September 9, 2025
  • BIOETIKA HUMANIORA MEDICAL ETHICS Menyatukan Etika Bisnis dan Etika Medis dalam Praktik Obstetri & Ginekologi
    September 4, 2025
  • kursus bioetika help batch 7 seri 3 ✨ HELP COURSE BATCH 7 – 3RD SERIES ✨
    August 14, 2025
Universitas Gadjah Mada

Gedung Penelitian dan Pengembangan FKKMK UGM Lt. 1 Sayap Utara

0274 547489
cbmhfkugm@ugm.ac.id

© Center for Bioethics and Medical Humanities Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY