Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada kembali menggelar forum rutin Raboan Research and Perspective Sharing, Rabu (25/6). Pada kesempatan ini, diskusi ilmiah mengangkat tema menarik dan penting, yaitu “Etno-Bioetika [untuk/di] Indonesia”, dengan menghadirkan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil., Guru Besar Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, sebagai narasumber utama. Diskusi ini dimoderatori oleh Mahmasoni Masdar, S.Kep., Ns., M.Kep. dari CBMH FK-KMK UGM.
Dalam pemaparannya, Prof. Heddy menekankan bahwa perkembangan bioetika global saat ini masih sangat dipengaruhi oleh paradigma Barat yang mengedepankan prinsip-prinsip seperti kebebasan individu (autonomy), berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice). Namun, prinsip-prinsip tersebut belum tentu cocok secara langsung dengan masyarakat Indonesia yang sangat beragam secara budaya, nilai, dan cara pandang hidup. Untuk itu, Prof. Heddy mengajak masyarakat ilmiah dan pembuat kebijakan untuk mulai melihat bioetika dari perspektif yang lebih kontekstual dan lokal. Ia memperkenalkan konsep “Etno-Bioetika”, yaitu pendekatan bioetika yang berakar dari nilai-nilai budaya, sistem pengetahuan lokal (etnosains), dan etika tradisional dari ratusan suku bangsa di Indonesia.
“Indonesia bukan hanya satu bangsa, tapi terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki pengetahuan, nilai, dan cara hidup sendiri dalam merawat kehidupan dan menangani persoalan etik yang menyangkut kesehatan, kelahiran, dan kematian,” ujar Prof. Heddy.
Sayangnya, sebagian besar nilai dan etika lokal tersebut hanya diwariskan secara lisan dan belum banyak terdokumentasi dalam dunia akademik maupun dijadikan dasar dalam kebijakan kesehatan. Padahal, menurut Prof. Heddy, nilai-nilai seperti kerukunan dalam budaya Jawa atau prinsip keseimbangan makhluk hidup dalam ajaran Bali sudah memuat semangat bioetika universal.
Prof. Heddy menekankan pentingnya riset-riset etnografi lintas budaya di seluruh Indonesia untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menghidupkan kembali etika-etika lokal ini. Ia menyebut perlunya rumusan “Bioetika Indonesia”, bahkan “Bioetika Pancasila”, sebagai kontribusi khas Indonesia dalam percakapan bioetika global. Tak hanya itu, ia juga mendorong UGM, khususnya CBMH, untuk menjadi pelopor dalam pendidikan, dokumentasi, dan advokasi bioetika yang berpihak pada nilai-nilai lokal, keberagaman, dan keadilan budaya.
Forum Raboan yang membahas Etno-Bioetika berkaitan dengan SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera) karena mendorong pendekatan etika kesehatan yang sesuai dengan nilai-nilai lokal, sehingga lebih diterima dan relevan bagi masyarakat. Hal ini juga mendukung SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan) dengan mengangkat suara dan pengetahuan etika dari berbagai suku bangsa di Indonesia yang selama ini kurang terwakili dalam kebijakan.
Sebagai penutup, Prof. Heddy menyerukan pentingnya pelaksanaan riset-riset etnografis lintas wilayah dan budaya untuk menghimpun dan mendokumentasikan etnobioetika Nusantara guna merumuskan bentuk “Bioetika Indonesia” bahkan “Bioetika Pancasila” sebagai kontribusi khas Indonesia dalam dialog bioetika global. Ia juga mendorong agar UGM, melalui CBMH, menjadi pelopor nasional dalam pendidikan, dokumentasi, dan advokasi bioetika yang kontekstual, plural, dan berkeadilan budaya.
Reporter: Ardhini Nugrahaeni, M.K.M.
Editor: Alvira Rahmasari, S.H.G.