Yogyakarta, 17 Juli 2025 – Di tengah dunia yang terus berubah dengan cepat, mempelajari sejarah bukan hanya tentang mengingat masa lalu, namun juga memahami arah masa depan. Sejarah memberi kita pelajaran penting, termasuk nilai-nilai etika dan keadilan. Prinsip “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) sangat relevan dalam diskusi Raboan Research and Perspective Sharing kali ini, yang mengangkat tema terkait “Ethical Considerations in Historical Research: Locating Archives and Conducting Interviews.” Raboan kali ini menghadirkan Professor Hans Pols dari University of Sydney dan dimoderatori oleh Ns. Wahyu Dewi Sulistyarini, M.S.N., dari CBMH UGM.
Prof. Hans menjelaskan bahwa sejarah kini tak lagi hanya diceritakan dari sudut pandang para penguasa atau elit. Kini, sejarah juga menjadi ruang untuk mengangkat suara-suara yang selama ini terpinggirkan, seperti perempuan, buruh, dan kelompok etnis minoritas, sehingga dapat memberi kita pandangan yang lebih luas dan adil tentang masa lalu.
Prof. Hans juga menekankan pentingnya arsip sebagai sumber informasi penting tentang peristiwa dan tokoh masa lalu. Namun, penggunaan arsip juga menghadirkan tantangan etis. Contohnya, arsip koran Hindia Belanda di Delpher.nl memang kaya akan data, namun masih berbahasa Belanda dan cenderung mewakili sudut pandang kolonial. Oleh karena itu, penting untuk melengkapinya dengan sumber-sumber lain yang merefleksikan pengalaman dan suara dari berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, termasuk melalui sejarah lisan yang lebih inklusif dan memperhatikan keberagaman perspektif.
Menurut Prof. Hans, etika dalam penulisan sejarah berarti kita harus berani menggali cerita-cerita yang tak biasa dan selama ini terlupakan atau tersembunyi dalam “keheningan” sejarah. Kita juga perlu memastikan bahwa buku, jurnal, dan database Sejarah serta pengetahuan bisa diakses oleh semua orang.
Topik ini berkaitan erat dengan beberapa tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), yaitu SDG 4: Pendidikan Berkualitas, dengan mendorong pemahaman sejarah yang kritis dan inklusif, SDG 10: Mengurangi Ketimpangan, dengan mengangkat kisah kelompok-kelompok yang selama ini tersisih, serta SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Tangguh, dengan memahami akar konflik dan mendorong tata kelola yang lebih adil dan transparan.
Ketika kita belajar dari sejarah di masa lalu, maka kita dapat menyusun langkah-langkah yang lebih bijak untuk masa depan. Masa depan yang tidak hanya maju, namun juga beretika, adil, dan menghargai keberagaman.
Reporter: Ika Setyasari, S.Kep.Ns., M.N.Sc
Editor: Alvira Rahmasari, S.H.G.